Thursday, April 14, 2011

Bidah atau Sunnah

Sesungguhnya manusia dan jin diciptakan untuk beribadah (An Nas-3)
Tapi bagaimana jika ibadah (atau yang kita pikir ibadah) tidak ada dasar untuk melakukannya?
Ini dia jawabannya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أحْدَثَ فيِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ.
وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR.al-Bukhari)

Lah Berarti tidak ada pahala sama sekali, atau malah berdosa jika "kegiatan" yang kita pikir ibadah tersebut disebar ke khalayak ramai...
Berikut adalah kegiatan yang biasa dilakukan di kehidupan sehari hari

1. Mengadzani -+ Iqomat  orang Meninggal

هو بدعة ومن زعم أنه سنة عند نزول القبر قياسا على ندبهما في المولود إلحاقا لخاتمة الأمر بابتدائه فلم يصب وأي جامع بين الأمرين ومجرد أن ذاك في الابتداء وهذا في الانتهاء لا يقتضي لحوقه به
“Ini adalah bid’ah, dan barangsiapa yang menyangka bahwa ini sunnah ketika selesai menguburkan, dengan mengqiyaskan adzan ketika dia lahir, dan menghubungkan akhir hidupnya dengan awalnya, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, apa yang mengumpulkan kedua perkara ini? kalau hanya karena ini di awal kehidupan dan itu di akhir kehidupan maka ini tidak mengharuskan ini disamakan dengan itu.” (Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra 2/24)”

Sedangkan Dianjurkan untuk menuntun bacaan bagi yang menghadapi sakratul mau :

لقنوا موتاكم لا إله إلا الله
“Talqinlah (tuntunlah) orang yang mau meninggal (untuk mengucapkan) Laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudry)

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin:
تلقين الميت بعد الدفن لم يصح الحديث فيه فيكون من البدع
“Mentalqin mayit setelah dikubur tidak ada hadist shahih di dalamnya, maka amalan ini termasuk bid’ah.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ 5/364).


2. Azdan Iqomat pada bayi baru lahir

sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ :
عَنْ أبِي رَافِعٍ أنَّهُ قَالَ,
رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أذَّنَ فِيْ أذُنِ الحُسَيْنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ
( سنن أبي داود )
Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan Adzan di telinga Husain ketika siti fatimah melahirkannya. (Yakni) dengan Adzan shalat.(HR Abi Dawud).

Lalu tentang fadhilah dan keutamaannya, Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorangpun mengingkarinya.
Sayyid Alawi menyatakan, perbuatan itu ada relevansinya untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagai mana yang keterangan yang ada dalam hadits.
Sebenarnya kalau kita mau membuka kitab-kitab para ulama, disitu kita akan banyak menjumpai teks-teks yang menerangkan tentang kesunahan adzan untuk bayi.
Di kalangan Syafi’iyah diantaranya ada:
1. Al-Imam al-Syaerozi dalam Al Muhadzdzab.
2. Al Imam al-Nawawi yang menyebutkan tentang kesunahan adzan untuk bayi dalam kitabnya Adzkar, Raudl al-Thalibin, pada bab Aqiqah juz; 2/497, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: 8/442-443 dan Minhaj al-Thalibin.
3. Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Asna al-mathalib;2/229.
4. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj.
5. Al-Bujairami dalam Hasyiahnya ala al-Iqna’:13/270-271. Dan masih banyak lagi k


3. Hukum 2 kali akad
akad nikah yang sudah dilakukan pertama, itu yang menjadi dasar sah tidaknya pernikahan. Selama memenuhi syarat dan rukun, maka pernikahan tersebut, sekalipun tidak diulang lagi kedua di depan KUA, tetap dipandang sah.

Lalu berkaitan dengan akad kedua, tentu tidak membatalkan akad pertama. Akad pernikahan yang sah, hanya batal melalui perceraian, baik thalak, khulu', fasakh atau lainnya. Selama tidak dengan hal tersebut, maka tidak ada yang dapat menggagalkan apalagi membatalkan akad nikah pertama.

Jadi, kalau boleh diilustrasikan, hal ini seperti shalat wajib. Shalat wajib yang dilakukan pertama adlah menggugurkan kewajiban, sekaligus melaksanaka kewajiban, dan shalat wajib kedua (misal Zhuhur dilakukan lagi karena menemani teman yang shalat sendirian), maka sebagai amalan sunnah baginya.

Akad kedua juga, dapat dikatakan amalan sunnah, kalau dimaksudkan untuk menghilangkan fitnah, atau untuk kemaslahatan si isteri di hadapan negara atau kemaslahaatan2 lainnya

2 comments:

  1. hati2 kalau mentafsir ayat al-quran dan hadist, Ql-Quran memiliki makna luas tidak bisa dipotong se ayat se ayat. apalagi saat ini banyak aliran2 yang aneh2 maunya selamat dengan pengetahuan yg dia dapat dengan instan dan dasar hukum yang kurang jelas malah2 terjerumus. pondok pesantren yg benar2 salaf dan diajarkan oleh ulama(hafidz quran) keturunan sunan(sang penyebar islam di jawa) itu aja sangat hati2 sekali dalm mentafsir Al-Quran.

    regard's

    ReplyDelete
  2. Setuju dengan Anda. Mohon kritikannya

    ReplyDelete

Untuk komentar yang tidak sopan akan langsung dihapus oleh moderator